Karangan, Makanan Tradisional Khas Bantul dari Olahan Rumput Laut yang Kian Langka, Seperti Apa Rasanya?


Makanan khas Bantul yang terbuat dari rumput laut ini semakin langka. | Foto: Facebook/Selalu Ada Cerita Dari Jogja

Sebagian besar lanskap Indonesia merupakan wilayah perairan. Tak heran bila negeri ini memiliki beragam sumber kekayaan laut yang berlimpah.

Salah satu komoditas andalan dari Indonesia adalah rumput laut. Tanaman yang merupakan bahan baku agar-agar ini tumbuh subur di Indonesia, termasuk di kawasan pesisir Bantul, Yogyakarta.

Tak sedikit masyarakat di pesisir Bantul yang memanfaatkan rumput laut sebagai salah satu sumber penghidupan mereka.

BACA JUGA: Belum Punya Stok Kue Kering untuk Suguhan atau Antaran Lebaran? Yuk, Mampir ke Kampung Nastar di Ciledug! 

Rumput laut itu diolah menjadi makanan tradisional, yang kemudian dijual dan dikenal sebagai makanan khas daerah.

Selain rasanya enak dengan tekstur yang kenyal setelah diolah menjadi makanan, rumput laut juga mengandung banyak nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh, terutama kesehatan pencernaan.

Kandungan rumput laut mencakup karbohidrat, protein, serat, vitamin dan mineral. Di antaranya, magnesium, mangan, kalsium, folat, zat besi, yodium, kalium, sodium, dan tembaga, dalam jumlah yang cukup tinggi.

Nah, salah satu makanan hasil olahan rumput laut dari Kecamatan Kretek, Kabupaten Bantul, yang terkenal adalah “karangan”.

MENGAPA DINAMAKAN “KARANGAN”?

Ternyata banyak orang yang tidak tahu makanan tradisional ini, lo, kendati lahir dan besar di Bantul.

Apalagi saat ini, semakin banyak kuliner kekinian yang lebih populer di kalangan anak muda. Akibatnya, kuliner khas Bantul yang bernama karangan ini kian tersisih dari khazanah kuliner masa kini.

Jadi, makanan apa, sih, sebenarnya karangan ini?

Makanan yang satu ini sangat unik dan berbeda dengan kuliner tradisional lainnya yang ada di  Bantul. Bahan bakunya murni hanya dari rumput laut.

Mengapa disebut karangan?

Konon, karena bahan bakunya adalah rumput laut yang diambil dari sela-sela batu karang ketika air laut sedang surut.

Karangan dijual sebagai penganan tradisional dengan tampilan yang sekilas mirip cincau. Warnanya hijau, namun teksturnya lebih kokoh, menyerupai tekstur agar-agar.

Rasa karangan cenderung  tawar dan beraroma sedikit amis, khas rumput laut dan makanan lainnya yang bersumber dari laut.

BACA JUGA: Renyah dengan Beragam Isi, Jalakotek Jajanan Khas Majalengka Ini Sering Dikira Kembaran Cireng Isi Ala Bandung

SEMAKIN SULIT MENCARI RUMPUT LAUT

Sebagai makanan lokal, karangan bisa dibilang mulai langka. Kini, karangan hanya bisa ditemukan di beberapa pasar tradisional setempat saja.

Dikutip dari Yogyes.com (Karangan Kudapan Langka dari Tepi Selatan Jogja, diperbarui 23 Desember 2021), kini produsen karangan sepertinya hanya tersisa seorang saja. Namanya Rukidem, perempuan berusia lebih dari 65 tahun.

Rukidem masih konsisten membuat dan menjual karangan demi melanjutkan tradisi keluarga yang sudah turun temurun.

Saat ini, Rukidem merupakan generasi ke-4 di keluarganya yang meneruskan usaha memproduksi karangan, dibantu sang suami, Yatno.

Menurut Yatno, di masa lalu setidaknya ada sekitar 50 orang yang membuat dan menjual karangan. Sekarang, tinggal Rukidem dan dirinya saja.

Penyebabnya, kata Yatno, saat ini bahan baku yang berupa rumput laut itu hanya bisa ditemukan di lokasi yang semakin jauh dari tempat tinggal mereka.

Karena semakin sulit mendapatkan bahan baku, ditambah proses pengolahan dan pembuatan karangan yang memerlukan waktu lama, warga di sekitar tempat tinggal Rukidem pun semakin enggan memproduksi karangan.

Untuk mendapatkan rumput laut, Rukidem dan Yatno mengaku harus pergi sampai ke Cilacap. Di sini, rumput lautnya didatangkan dari Pulau Nusakambangan. Pulau ini konon merupakan wilayah yang sangat cocok untuk budidaya rumput laut.

Rumput laut yang digunakan untuk membuat karangan biasanya adalah jenis yang menempel di batu-batu karang atau tumbuh di sekitar batu karang.

Jenis rumput laut ini hanya bisa didapatkan dalam jumlah cukup banyak setahun sekali. Suhu permukaan perairan di Indonesia, yang dipengaruhi kondisi meteorologis, menyebabkan pertumbuhan rumput laut mengikuti pola arus musiman.

Tak heran bila Rukidem dan Yatno hanya bisa mendapatkan rumput laut saat musim kemarau. Ia mengaku selalu membeli rumput laut dalam jumlah banyak lalu menyimpannya sebelum diolah.

Rumput laut yang diolah menjadi karangan biasanya diambil dari sela-sela batu karang. | Foto: tanilogic.com
CARA MENGOLAH RUMPUT LAUT MENJADI KARANGAN

Untuk dibuat menjadi karangan, rumput laut harus melewati proses penjemuran di bawah terik matahari langsung selama beberapa hari hingga benar-benar kering.

Rumput laut yang sudah kering dapat bertahan hingga tiga tahun lamanya.

Setelah penjemuran, rumput laut kering harus disortir. Rumput laut kering yang tidak layak dibuang. Kotoran yang menempel dibersihkan.

Butuh ketelitian ekstra untuk memilah rumput laut kering. Selanjutnya, rumput laut kering dicuci sampai bersih dan siap diolah.

Di dapur miliknya yang berukuran sekitar 4 x 3 meter, Rukidem merebus rumput laut. Ia menggunakan tungku tradional berbahan bakar kayu, yang disebut luweng.

BACA JUGA: Berburu Batagor Enak di Bandung, Sudah Tahukah Sejarah Batagor yang Kini Jadi Jajanan Ikonik Kota Kembang? 

Rumput laut kering yang sudah dicuci bersih lalu dimasukkan dalam air asam yang mendidih. Air asam ini berfungsi untuk mempercepat penghancuran rumput laut selama direbus.

Air asamnya terbuat dari campuran air dengan buah asam, daun buah asam, maupun mangga muda. Yang penting, airnya mengandung asam.

Rukidem tidak asal mencampur. Perbandingannya, 1,5 kilogram rumput laut dimasukkan ke dalam lebih dari setengah kuali besar air asam. Rukidem memakai kuali tanah liat.

Proses memasak rumput laut membutuhkan waktu cukup lama, sekitar 3 jam. Selama proses perebusan, rumput lautnya harus terus diaduk.

Air rebusan itu juga diberi tambahan pewarna makanan berwarna hijau agar karangan yang dihasilkan lebih menarik.

Setelah air rebusan menyatu sempurna dengan rumput laut dan membentuk gel, tahap selanjutnya adalah menuangkan gel itu ke dalam cetakan dari tempurung kelapa.

Rebusan rumput laut di dalam batok kelapa itu lalu didiamkan sampai dingin dan mengeras. Karangan pun siap dilepas dari cetakan dan dikonsumsi.

Seporsi karangan biasanya disajikan bersama bothok mlandingan atau kethak krengseng. | Foto: Facebook/Info Bantul Projotamansari
PENYAJIAN UNIK SEPORSI KARANGAN

Rukidem menjual karangan pada pagi hari di Pasar Turi. Dagangannya biasanya langsung diserbu pembeli, dikonsumsi sebagai sarapan yang cukup sehat.

Tak jarang ada pula yang membeli karangan dalam jumlah banyak sekaligus untuk dijual kembali di tempat lain.

Agar cita rasanya lebih kaya, karangan biasanya disajikan dengan bothok mlandingan yang bercita rasa gurih dan pedas. Bothok mlandingan adalah urap kelapa parut dan petai cina yang dibumbui rempah dan cabai.

Karangan bisa juga disajikan bersama kethak krengseng, yakni ampas kerak santan atau minyak kelapa yang rasanya manis dan gurih.

Ketika dimakan, karangan menciptakan sensasi unik di lidah. Karangan akan terasa kenyil-kenyil (kenyal) sekaligus kemrenyes (renyah), yang berasal dari tekstur khas rumput lautnya yang masih tertinggal.

Satu porsi karangan berisi 3-4 potong karangan yang dialasi daun pisang, lalu diberi kondimen bothok jika ingin rasa gurih pedas atau kethak krengseng jika ingin rasa yang gurih manis.

Bagi yang penasaran ingin mencicipi karangan khas Bantul, Rukidem atau pedagang karangan lain yang jumlahnya semakin sedikit bisa dijumpai di Pasar Turi, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro, Bantul, setiap hari pasaran Pahing saja. Alternatifnya, peminat bisa mencoba mencari di Pasar Celep, Srigading, Kecamatan Sanden, dan Pasar Ngangkruksari, Kretek, Bantul.

Bagaimana, apakah Anda tertarik mencicipi karangan yang unik dan kian langka ini?


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *