
Tak sedikit dari kita yang sangat menyukai aneka makanan dan minuman bercita rasa manis.
Ada cokelat, cookies, aneka bolu, puding, hingga ragam minuman segar dengan kondimen jelly dan bobba di dalamnya.
Tak hanya enak di lidah, makanan dan minuman manis pun bisa tiba-tiba membuat perasaan atau suasana hati menjadi lebih semangat dan bahagia ketika mengonsumsinya.
Hmmm, namun hati-hati, ya! Mengonsumsi makanan dan minuman manis dengan tambahan gula jangan sampai berlebihan karena bisa menganggu kesehatan tubuh.
Lantas, berapa, sih, takaran pasti konsumsi gula atau pemanis dalam sehari yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI dan Organisasi Kesehatan Dunia WHO agar tubuh tetap aman dan sehat?
Yuk, simak penjelasannya!
BATAS KONSUMSI GULA HARIAN UNTUK ANAK DAN DEWASA
Berdasarkan rekomendasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), batas konsumsi gula harian yang disarankan untuk anak-anak dan orang dewasa adalah sebagai berikut:
Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI)
Melalui Pedoman Gizi Seimbang dan kampanye “G4 G1 L” (Garam 1 sendok teh, Gula 4 sendok makan, dan Lemak 5 sendok makan), Kemenkes RI menganjurkan:
- Gula maksimal per hari: 50 gram = setara 4 sendok makan.
- Takaran ini berlaku untuk anak-anak dan orang dewasa sebagai batas maksimal.
WHO (World Health Organization)
WHO memberikan dua tingkat rekomendasi, yakni:
- Gula maksimal: 10 persen dari total energi harian. Contoh: Jika kebutuhan energi harian sebesar 2.000 kkal/hari, maka maksimal gula = 50 gram per hari.
- Rekomendasi ideal: 5 persen dari total energi harian = setara dengan sekitar 25 gram per hari (≈ 6 sendok teh).
- Takaran ini berlaku untuk anak-anak dan orang dewasa.
Si manis gula tampaknya memang sulit dipisahkan dari kehidupan sehari-hari kita, ya.
Bisa dikatakan, gula telah menjadi bagian hidup dari warga Indonesia sejak lama. Ditambah kenyataan, terdapat sejumlah kebun tebu di sejumlah wilayah Indonesia.
Tak heran bila pada zaman kolonial Belanda, banyak dibangun pabrik-pabrik gula untuk memroses hasil panen tebu menjadi gula pasir.
Namun, di sisi lain, pabrik-pabrik gula di Indonesia sejak lama juga memiliki kisah misteri dan mistisnya tersendiri, lo.
Salah satunya adalah ritual yang kerap dilakukan oleh para pengelola pabrik gula agar usahanya lancar, terutama agar mesin penggiling tebu selalu berfungsi dengan baik.
Nah, sejumlah ritual yang dijalankan di pabrik gula ini di antaranya mempersembahkan beragam sesajen, menggelar upacara manten (pengantin) tebu, hingga sisi tergelapnya konon adalah memberi tumbal.
Wah, terasa sekali mistisnya, ya. Jadi penasaran seperti apa, sih, ritual mistis yang sebenarnya terjadi di pabrik-pabrik gula di masa lalu?

MISTERI PABRIK GULA DI INDONESIA: ANTARA SEJARAH DAN KISAH MISTIS
Di balik kejayaan industri gula di Indonesia, tersembunyi kisah-kisah yang tak hanya berisi deretan angka produksi dan kemegahan mesin penggiling tebu sebagai subjek utama di dalam pabrik.
Terdapat sisi lain yang lebih sunyi, lebih kelam, dan penuh misteri. Ini adalah kisah tentang pabrik gula sebagai ruang perjumpaan antara logika industri dan bisikan dunia gaib.
Jejak Manis Gula dari Masa Kolonial
Sejak abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat industri gula.
Pabrik-pabrik gula bermunculan, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, mengubah hamparan sawah menjadi lautan kebun tebu.
Gula ibarat “emas manis” bagi penjajah dan tebu menjadi denyut nadi ekonomi lokal.
Namun kemegahan industri ini tidak berdiri di atas pondasi teknis semata. Ia bersandar pula pada tradisi, mitos, serta ritual.
Sesajen dan “Penunggu” Mesin Giling Tebu
Di hampir setiap pabrik gula tua ditemukan cerita mistis tentang sesajen yang rutin diletakkan di dekat mesin-mesin penggiling tebu, cerobong asap, hingga gudang penyimpanan tebu dan gula.
Sesajen berupa bunga, kopi hitam, rokok, hingga kepala ayam sering dijadikan bentuk persembahan.
Masyarakat percaya, tempat-tempat di area pabrik gula tersebut memiliki “sang penunggu”, yakni roh halus yang harus dihormati agar tidak menyebabkan kerusakan pada mesin giling juga kecelakaan kerja para karyawan.

Manten Tebu: Perkawinan Simbolik Bermakna Kesuburan
Salah satu ritual paling unik di pabrik gula adalah “manten tebu“. Sebelum musim giling tebu dimulai, sepasang batang tebu pilihan akan didandani selayaknya pengantin.
Pasangan tebu pilihan ini lalu diarak mengelilingi pabrik gula, dengan iringan tabuhan gamelan dan panjatan doa-doa dalam bahasa lokal.
Ini adalah bentuk permohonan kepada alam agar hasil panen tebu selalu melimpah dan hasilnya pun manis.
Prosesi ini bukan sekadar seremonial belaka, melainkan upaya menyatukan unsur spiritual dan agrikultural dalam satu tarikan napas.
Tumbal: Rahasia Gelap yang Tak Pernah Ditulis
Kisah paling gelap dari ritual di pabrik gula adalah tentang tumbal. Semula, di saat pendirian pabrik, tumbal yang dipersembahkan biasanya berupa kepala kerbau.
Namun ada bisik-bisik yang menyebutkan, di masa lalu, terutama di saat awal berdirinya pabrik, pernah dilakukan pengorbanan manusia — biasanya anak-anak atau buruh (karyawan musiman di saat panen tebu) — yang akan “hilang” secara misterius.
Tujuan dari pemberian tumbal ini adalah agar mesin penggiling tebu tidak mogok dan produksi gula menjadi berjalan lancar.
Kendati tidak tercatat di dalam sejarah resmi tentang pabrik gula, kisah ini selalu hidup di tengah masyarakat sekitar pabrik, yang diceritakan dari generasi ke generasi secara turun temurun, dengan nada bisu sekaligus gentar.

Pabrik Gula Sebagai Ruang Sakral
Pabrik gula bukan sekadar tempat produksi tebu mejadi gula saja. Ia adalah juga ruang sakral, tempat di mana manusia, mesin, serta makhluk tak kasat mata saling bersinggungan.
Kepercayaan terhadap kekuatan gaib bukanlah bentuk irasionalitas, tetapi justru merupakan cara lokal untuk memahami dan merespons kekuatan besar yang tak terjangkau logika semata.
Di masa kini, banyak pabrik gula tua telah menjadi sekadar bangunan kosong yang dipenuhi lumut dan sisa kenangan.
Namun bagi sebagian orang, apalagi yang pernah bekerja di dalamnya, pabrik-pabrik terbengkalai itu tetap suatu dunia yang hidup, dijaga oleh roh-roh halus yang dulu pernah diberi sesajen, dimuliakan dengan manten tebu, atau bahkan diberi tumbal.
BACA JUGA: Kastengel, dari Budaya Priyayi Era Kolonial hingga Jadi Hidangan Lebaran
Di balik setiap dentingan suara roda giling yang pernah bergesekan dan berputar, terdapat doa, ketakutan, sekaligus harapan yang membubung bersama aroma manis tebu yang menguar.
Kisah ini ditulis sebagai pengingat bahwa sejarah bukan hanya soal data angka dan dokumentasi, tetapi juga tentang ingatan kolektif, kepercayaan, serta dunia yang kadang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Kisah seperti ini akan tetap hidup, meskipun dalam bisik-bisik sunyi di tengah malam, di antara cerobong tua dan ladang tebu yang sepi dan lengang.
Selain kini hanya dikenang dalam bentuk museum penuh kenangan, ada pula yang menjadikan pabrik gula tua sebagai lokasi rest area, seperti Pabrik Gula Banjaratma di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, sebuah film berjudul “Pabrik Gula” saat ini juga sedang diputar di berbagai bioskop di Tanah Air. Film ini merupakan adaptasi dari kisah serial yang ditulis @simpleman melalui media sosial X.
Film “Pabrik Gula” setidaknya akan memberikan wawasan kepada kita mengenai para pekerja musiman dan suasana di pabrik gula pada masa lampau.
Tertarik untuk menontonnya? Jangan lupa untuk mengonsumsi gula sesuai takaran yang dianjurkan. Jangan berlebihan!