Ampo dan Tradisi Makan Tanah Liat Alias Geofagi Ada di Berbagai Belahan Dunia, Termasuk di Tuban


Tradisi mengonsumsi tanah liat atau geofagi dipraktikkan di berbagai komunitas di seluruh dunia, termasuk di Tuban, Jawa Timur. | Foto: Freepik

Hah, makan tanah liat? Yang benar saja! Masa tanah liat dimakan?

Mungkin begitu reaksi Anda ketika pertama kali mendengar ada kebiasaan makan tanah liat. Unik, terkesan ekstrem, dan sulit dipercaya.

Tetapi faktanya memang begitu. Terdapat tradisi makan tanah liat di berbagai komunitas yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Salah satunya di Tuban, Jawa Timur. Ini mungkin bisa dikategorikan sebagai tradisi kuliner unik, ekstrem, dan langka.

Kebiasaan makan tanah liat ini sudah dikenal sejak lama. Bahkan, ada istilah tersendiri untuk kebiasaan itu, yakni “geofagi”. Yuk, kita eksplorasi.

BACA JUGA: Karangan, Makanan Tradisional Khas Bantul dari Olahan Rumput Laut yang Kian Langka, Seperti Apa Rasanya?

Apa itu Geofagi?

Secara etimologi, istilah “geofagi” (atau “geophagy” dalam bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani. “Geo” (γῆ) berarti “tanah”, sedangkan “Phagein” (φαγεῖν) artinya “makan”.

Jadi, geofagi secara harfiah berarti “makan tanah”, yaitu suatu kebiasaan atau praktik mengonsumsi tanah, tanah liat, atau bahan mineral lainnya.

Kendati sekilas kelihatan aneh dan tidak masuk akal, praktik ini ternyata dilakukan oleh banyak komunitas di berbagai tempat dengan tujuan-tujuan tertentu, termasuk di Indonesia.

Siapa saja yang mengonsumsi tanah liat ini dan untuk tujuan apa?

Dipraktikkan di Berbagai Belahan Dunia

Tradisi makan tanah atau geofagi ternyata cukup luas ditemukan di berbagai belahan dunia, terutama di komunitas-komunitas tradisional.

Mereka percaya akan manfaat kesehatan mengonsumsi tanah liat yang konon bisa memenuhi kebutuhan nutrisi tertentu.

Berikut ini beberapa contoh komunitas yang mempraktikkan geofagi.

1. Afrika

Di Ghana, ada tanah liat putih yang disebut ayilo. Ini sering dikonsumsi oleh ibu hamil karena diyakini membantu mengatasi mual.

Di Tanzania dan Kenya, masyarakat suku tertentu mengonsumsi tanah liat sebagai bagian dari pengobatan tradisional.

2. Amerika Selatan

Di beberapa wilayah di Peru dan Bolivia, masyarakat adat mengonsumsi tanah liat yang disebut chaco untuk menetralisir racun dalam makanan, terutama saat makan kentang liar.

3. Amerika Utara

Beberapa komunitas di Amerika Serikat bagian Selatan, terutama keturunan Afrika-Amerika, memiliki kebiasaan mengonsumsi tanah liat putih yang disebut kaolin.

Tanah berwarna putih ini sebenarnya juga digunakan dalam industri farmasi untuk mengobati gangguan pencernaan. Jadi, dunia medis modern pun menggunakannya.

4. Eropa

Di Rusia dan Ukraina, beberapa komunitas desa diketahui mengonsumsi tanah liat putih untuk alasan kesehatan.

5. Asia Tenggara

Di Tuban, Jawa Timur, terdapat tradisi makan tanah liat yang disebut “ampo“. Tradisi ini juga ditemukan di beberapa daerah lain, seperti di Jawa Tengah dan Kalimantan, meskipun jarang terdokumentasi.

Di Thailand dan Vietnam, terdapat praktik yang serupa dengan mengonsumsi tanah liat ini, yang diklaim memiliki manfaat detoksifikasi.

Ampo, camilan unik dari tanah liat, yang biasa dikonsumsi masyarakat tradisional di Tuban | Foto: unair.ac.id

Ampo, Camilan Tanah Liat dari Tuban

Pernah dengar makanan bernama ampo ini?

Ampo adalah camilan tradisional khas Tuban, Jawa Timur, yang terbuat dari tanah liat murni. Makanan ini dibuat dengan cara mengiris tipis gumpalan tanah liat, menggulung, dan memanggang tanah liat itu hingga mengeras.

Ampo dipercaya memiliki berbagai manfaat kesehatan.

Di Tuban, ampo biasanya dijual sebagai jajanan tradisional, terutama di pedesaan Tuban. Camilan ini biasanya dikonsumsi begitu saja tanpa tambahan bumbu atau lauk.

Masyarakat setempat percaya bahwa ampo dapat memberikan efek dingin dan menyegarkan tubuh, terutama saat cuaca panas. Ini mirip dengan kepercayaan di beberapa budaya lain, bahwa tanah liat dapat membantu menyeimbangkan suhu tubuh.

Tanah liat ini biasanya juga dikonsumsi oleh ibu hamil. Banyak ibu hamil di Tuban mengonsumsi ampo karena diyakini bisa mengurangi mual dan muntah (morning sickness), mirip dengan praktik geofagi di Ghana dan beberapa negara lain.

Selain itu, warga Tuban yang mengonsumsi ampo juga percaya bahwa ampo dapat memperkuat janin dan menjaga kesehatan kehamilan, meskipun secara medis efek ini harus dibuktikan.

Ampo juga dikonsumsi sebagai obat tradisional, terutama untuk mengatasi gangguan pencernaan seperti diare atau perut kembung. Praktik ini sebenarnya mirip dengan penggunaan tanah liat putih atau kaolin dalam dunia farmasi.

Sama seperti kaolin, ampo diyakini bisa menyerap racun atau zat yang mengganggu pencernaan.

Masyarakat tradisional di Tuban juga mengonsumsi ampo untuk menjaga kesehatan gigi dan tulang karena tanah liat ampo memiliki sejumlah kandungan mineral.

Namun demikian, konsumsi ampo di Tuban kini sudah jauh berkurang karena perubahan pola makan dan gaya hidup masyarakat modern.

Karakteristik Tanah Liat Ampo

Tanah liat yang digunakan untuk membuat ampo di Tuban sebenarnya bukan jenis tanah yang benar-benar unik atau hanya ada di daerah itu saja.

Namun, tanah liat di Tuban ini memiliki karakteristik tertentu yang membuatnya cocok untuk dikonsumsi. Masyarakat setempat sudah lama mengenali jenis tanah seperti apa yang aman untuk dijadikan ampo.

Tuban memiliki sumber tanah yang sudah terbukti aman secara turun-temurun. Masyarakat setempat juga mengetahui lokasi tanah yang tepat untuk diolah, sehingga mereka hanya mengambil tanah liat dari tempat tertentu.

Tanah liat untuk ampo biasanya bebas dari pasir dan batuan kasar. Teksturnya halus dan tidak mengandung partikel keras yang bisa merusak gigi atau sulit dikunyah.

Material tanah ini juga tidak boleh bercampur dengan bahan organik yang membusuk. Harus murni, tanpa campuran humus atau zat organik yang bisa menyebabkan bau atau rasa tidak enak.

Tanahnya juga cenderung kaya akan silikat dan mineral seperti kalsium dan magnesium. Warnanya biasanya coklat kehitaman atau kemerahan.

Meskipun jenis tanah liat untuk bahan ampo ini tidak eksklusif, bisa ditemukan juga di daerah-daerah lain, namun tidak semua orang memiliki keterampilan untuk mengolah tanah liat menjadi ampo. Itu sebabnya, tidak semua daerah memiliki tradisi makan ampo.

Sedangkan di Tuban, budaya dan tradisi ini sudah mengakar kuat sejak lama sehingga ampo menjadi identitas kuliner yang unik dari daerah ini.

BACA JUGA: Aroma Sedap Makanan Tak Cuma Menggugah Selera Tapi Juga Jadi Inspirasi Wewangian Parfum, Apa Sajakah?

Penjelasan Ilmiah Seputar Geofagi

Secara kesehatan, konsumsi tanah liat seperti ampo dan praktik-praktik geofagi lainnya menimbulkan pro dan kontra. Beberapa manfaat yang sering diklaim memang memiliki dasar ilmiah, tetapi ada pula risiko yang perlu diperhatikan.

Manfaat Geofagi
1. Sebagai Sumber Mineral Tambahan

Tanah liat mengandung mineral seperti kalsium, zat besi, magnesium, dan seng, yang dapat bermanfaat bagi tubuh.

Ini menjelaskan mengapa ibu hamil di beberapa budaya, termasuk di Tuban, mengonsumsi tanah liat. Mereka mungkin mengalami kekurangan zat besi atau mineral lain yang dibutuhkan selama kehamilan.

2. Menetralisir Racun dalam Makanan

Di Amerika Selatan, tanah liat digunakan untuk mengurangi efek racun dari makanan tertentu, seperti kentang liar yang mengandung senyawa beracun.

Struktur tanah liat memang memiliki sifat adsorben, mirip dengan karbon aktif, sehingga dapat mengikat racun atau zat berbahaya dalam makanan sebelum diserap tubuh.

3. Membantu Mengatasi Gangguan Pencernaan

Tanah liat seperti kaolin sudah lazim digunakan dalam obat antidiare karena dapat menyerap kelebihan cairan dan racun di usus.

Di beberapa negara, tanah liat juga digunakan sebagai anti-asam alami, mirip dengan cara kerja obat maag berbasis aluminium hidroksida.

Risiko dan Bahaya Geofagi
1. Kontaminasi Logam Berat dan Mikroba

Tanah yang tidak murni bisa mengandung logam berat seperti timbal, arsenik, atau merkuri yang beracun dan berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah banyak.

Selain itu, tanah bisa terkontaminasi bakteri, parasit, atau telur cacing yang berbahaya bagi sistem pencernaan.

2. Gangguan Penyerapan Nutrisi

Tanah liat memiliki sifat mengikat mineral yang bisa menghambat penyerapan zat besi, seng, dan nutrisi penting lainnya dalam tubuh.

Karena itu, jika dikonsumsi berlebihan, tanah liat justru dapat menyebabkan kekurangan nutrisi dalam jangka panjang.

3. Gangguan Pencernaan

Konsumsi tanah liat yang berlebihan bisa menyebabkan sembelit atau bahkan penyumbatan usus, terutama jika tanahnya terlalu padat dan sulit dicerna.

Jadi, dari sisi kesehatan, geofagi tampaknya memang bisa memberikan manfaat dalam kondisi tertentu, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. Tanah yang dikonsumsi harus murni, bebas kontaminasi, dan tidak dikonsumsi berlebihan.

Di dunia modern, tanah liat lebih banyak dimanfaatkan dalam bentuk olahan, seperti kaolin dalam obat-obatan, daripada dikonsumsi langsung seperti dalam tradisi ampo.

Hanya tanah liat dengan karakteristik tertentu yang bisa dikonsumsi dalam tradisi geofagi. Salah satunya tanah liat putih atau kaolin yang juga dipakai dalam industri farmasi modern | Foto: Freepik

Tanah Liat yang Aman Dikonsumsi

Agar konsumsi tanah liat aman dan meminimalkan risiko kesehatan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi serta proses pengolahan yang sebaiknya dilakukan. Berikut langkah-langkahnya.

1. Tidak Terkontaminasi

Tanah liat yang aman dikonsumsi harus murni dan bebas kontaminasi. Material tanah ini harus berasal dari sumber yang bersih, tidak tercampur dengan bahan kimia, polutan, atau logam berat.

Selain murni, tanah liat yang dikonsumsi juga harus kaya mineral bermanfaat. Tanah harus mengandung mineral seperti kalsium, magnesium, dan zat besi, tanpa kandungan zat beracun seperti timbal atau arsenik.

Selanjutnya, tanah juga tidak boleh mengandung mikroba berbahaya, bebas dari bakteri, parasit, atau telur cacing yang bisa menyebabkan infeksi.

BACA JUGA: Bukan Kupat Tahu Biasa, Doclang Khas Bogor Punya Kisah Unik Tersendiri dengan Lontong yang Wajib Berbungkus Daun Patat!

2. Proses Pengolahan agar Aman Dikonsumsi
a. Pembersihan dan Penyaringan

Tanah liat harus dicuci dan disaring untuk menghilangkan kotoran, pasir, dan zat asing lain yang bisa membahayakan kesehatan.

Proses ini juga bisa dilakukan dengan merendam tanah dalam air, lalu membuang endapan atau partikel kasar yang mengapung.

b. Pengeringan dan Pemanggangan

Tanah liat yang sudah bersih harus dikeringkan untuk mencegah pertumbuhan bakteri atau jamur.

Proses pemanggangan pada suhu tinggi (di atas 100°C) dapat membunuh mikroorganisme dan membantu mengurangi kandungan zat beracun yang mungkin ada.

Teknik ini juga digunakan dalam pembuatan ampo di Tuban, di mana tanah liat digulung dan dipanaskan hingga mengeras.

c. Penghalusan dan Pemurnian

Dalam beberapa kasus, tanah liat bisa diolah lebih lanjut dengan cara digiling menjadi bubuk halus agar lebih mudah dicerna.

Beberapa tanah liat yang dikonsumsi secara modern, seperti bentonit clay atau kaolin, sering melalui proses pemurnian industri untuk memastikan keamanannya sebelum dijual sebagai suplemen kesehatan.

3. Dosis dan Cara Konsumsi yang Aman

Dianjurkan untuk tidak mengonsumsi tanah liat berlebihan. Sebaiknya, tanah liat ini dikonsumsi dalam jumlah kecil dan tidak terlalu sering untuk menghindari risiko gangguan pencernaan atau defisiensi nutrisi.

Hindari pula tanah liat yang telah terpapar pestisida, limbah industri, atau zat kimia lain.

Dan yang terpenting, kombinasikan dengan diet seimbang. Jangan hanya mengandalkan tanah liat untuk mendapatkan mineral, karena makanan lain seperti sayuran dan buah-buahan juga jelas memberikan manfaat yang sama dan pastinya lebih aman.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *