
Di Indonesia, salah satu penganan yang hampir selalu tersaji di meja tamu pada momen Lebaran atau Idulfitri adalah kastengel. Posisi kue kering dengan rasa gurih keju ini sama dengan nastar dan lapis legit sebagai kue hari raya.
Dua kue yang disebut belakangan sudah dibahas dalam sejumlah artikel di Telusur Dapur. Untuk membacanya, silakan ketikkan kata kunci “nastar” atau “lapis legit” pada fitur pencarian yang tersedia.
BACA JUGA: Resep Bolen Kurma Cokelat Keju, Inspirasi Antaran Lebaran Bercita Rasa Istimewa
Sekarang mari kita bahas kastengel. Bagaimana awal mulanya hingga kue ini sekarang jadi identik dengan momen Lebaran?
Berasal dari Belanda
Tak beda dengan nastar dan lapis legit, kastengel pada mulanya adalah penganan dari Belanda. Sebutan aslinya adalah “kaastengel” (dengan dua “a”). Sebutan itu terbentuk dari dua kata, “kaast” yang artinya keju, dan “stengel” yang berarti batang atau stik. Jadi kastengel sebenarnya adalah stik keju atau cheese stick.
Kue ini awalnya merupakan roti keju yang panjang dan renyah, namun kemudian diadaptasi di Indonesia menjadi kue kering berbentuk kecil karena perbedaan bahan dan teknik pembuatan.
Di Belanda, kastengel biasanya dibuat dengan keju Edam atau Gouda, dua merek keju legendaris dari Negeri Kincir itu. Sementara, Indonesia tidak punya tradisi produksi dan konsumsi keju sendiri yang mengakar. Kastengel di Indonesia biasa dibuat dengan merek keju apa saja.
Camilan Biasa Saja di Belanda
Di negeri asalnya, kastengel sebenarnya bukan penganan khusus untuk momen perayaan tertentu. Kue ini juga tidak memiliki asosiasi khusus dengan hari raya Kristiani seperti Natal atau Paskah. Jadi, sebenarnya kastengel sekadar penganan sehari-hari yang biasa saja.
Kastengel lebih umum dikonsumsi sebagai camilan sehari-hari, pendamping minum teh dan kopi. Biasanya, kastengel hadir dalam berbagai ukuran dan tekstur. Ada yang lebih renyah seperti biskuit dan ada yang lebih mirip roti kering.
Untuk perayaan, beberapa jenis penganan lain di Belanda lebih punya asosiasi atau keterkaitan dengan momen spesial. Contohnya, sejumlah kue dan roti berikut ini.
1. Pepernoten dan Kruidnoten
Biasanya disajikan saat perayaan Sinterklaas (5 Desember). Kue kecil berbentuk bulat ini memiliki rasa rempah yang khas, mirip spekkoek, karena menggunakan kayu manis, cengkeh, dan pala.
2. Banketstaaf
Kue berbentuk batang panjang berisi pasta almond (amandelspijs), sering dihidangkan saat Sinterklaas dan Natal. Mirip dengan roti almond yang manis dan renyah.
3. Kerststol
Roti khas Natal, mirip dengan stollen dari Jerman. Ini adalah roti yang diperkaya dengan kismis, kacang-kacangan, dan diisi dengan pasta almond. Biasanya disajikan saat sarapan atau sebagai camilan sore.
4. Oliebollen
Sejenis donat goreng berbentuk bulat yang biasanya dimakan pada Malam Tahun Baru. Bisa polos atau berisi kismis dan taburan gula halus di atasnya.
5. Tompouce
Pastry berlapis dengan isian krim vanila, sering muncul dalam berbagai perayaan, terutama saat Hari Raja (Koningsdag, 27 April). Pada hari itu, lapisan glazurnya sering diwarnai oranye sebagai simbol keluarga kerajaan Belanda.
6. Paasbrood
Mirip dengan kerststol, tetapi khusus untuk Paskah (Pasen). Biasanya disajikan saat sarapan atau brunch Paskah bersama telur rebus dan berbagai makanan manis lainnya.
Dibawa Kolonialis Belanda, Diadopsi Kelas Priyayi
Kastengel diperkenalkan ke wilayah Hindia Belanda, yang sekarang menjadi negara Repubik Indonesia, tentu oleh orang-orang Belanda yang bermukim di sini.
Pengenalan tradisi kuliner seperti itu tentu berlangsung secara berangsur-angsur dalam jangka panjang. Jadi, tidak dapat diidentifikasi dengan angka tahun yang pasti.
Diperkirakan, masuknya tradisi kuliner Belanda ke wilayah Hindia Belanda berlangsung intensif sejak abad ke-17 hingga abad ke-19.
Sejak permulaan abad ke-19, atau awal tahun 1800, kekuasaan kolonial Belanda menjadi sangat kokoh di Hindia Belanda. Pada akhir tahun 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut. Kekuasaannya di Hindia Belanda diambil alih oleh Kerajaan Belanda.
Sejak saat itu, pembangunan fisik di Hinda Belanda berlangsung pesat, seperti pembangunan jaringan rel kereta api, jalan raya, gedung-gedung pemerintahan, perkebunan berbagai komoditas pertanian, pabrik gula, pabrik teh, dsb.
Pada masa ini jugalah di Hindia Belanda tumbuh kelas sosial baru di kalangan kaum bumiputera, yakni kelas priyayi birokrat. Mereka adalah para elite birokrat alias pejabat yang berasal dari warga lokal, kalangan bumiputera yang bekerja untuk pemerintah kolonial.
Di kalangan masyarakat jajahan, mereka ini bisa dibilang sebagai lapisan sosial atas, kelas elite, yang mulai mengadopsi gaya hidup serta kuliner ala Eropa.

Awal Mula Terbentuknya Golongan Priyayi
Dalam konteks tatanan masyarakat feodal, priyayi pada mulanya adalah para pejabat di lingkungan pemerintahan kerajaan. Sebagian dari mereka, terutama yang memiliki jabatan tinggi, biasanya adalah keluarga ningrat atau bangsawan. Jadi masih berkerabat dengan raja.
Pada era kekuasaan Belanda di Nusantara, sistem feodal ini tidak dihapus melainkan justru dimanfaatkan. Para pejabat kerajaan, seperti para adipati (bupati), yang semula tunduk kepada raja, kini tunduk kepada pemerintah kolonial. Mereka menjadi para kepala daerah yang membantu administrasi pemerintahan Belanda.
Priyayi dalam sistem ini memiliki fungsi sebagai pegawai negeri (ambtenaar) yang melayani kepentingan kolonial.
Sistem ini semakin kokoh ketika pemerintah kolonial membuka sekolah-sekolah untuk bumiputera. Dapat disebut, misalnya, Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School (AMS). Ini sekolah dasar hingga menengah atas untuk kaum pribumi.
Lalu ada pula sekolah calon pegawai negeri pribumi (OSVIA: Opleidingsschool voor Inlandsche Ambtenaren) dan sekolah kedokteran untuk pribumi (STOVIA: School tot Opleiding van Inlandsche Artsen).
Sebagian besar lulusan sekolah-sekolah ini juga bekerja menjadi pegawai negeri dalam pemerintahan kolonial dan membentuk kelas sosial priyayi modern. Kedudukan sosialnya tidak lagi ditentukan oleh darah bangsawan melainkan oleh pendidikan.
Jadi ada golongan priyayi tinggi yang berdarah ningrat dan menduduki jabatan-jabatan tinggi sekelas kepala daerah, dan ada golongan priyayi rendah yang tersebar ke berbagai wilayah hingga ke desa-desa seperti guru, juru tulis, dan para pegawai lainnya berkat pendidikan.
Dari Priyayi ke Budaya Lebaran
Karena status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan rakyat biasa, para priyayi ini sering kali mengadopsi gaya hidup dan kebiasaan konsumsi ala Belanda untuk menunjukkan prestise mereka.
Dalam konteks ini, makanan dan kue-kue ala Belanda seperti kastengel, nastar, dan lapis legit menjadi simbol status.
Jadi, kue-kue ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga tentang menampilkan kelas sosial. Priyayi yang bisa menyajikan kue-kue berbahan keju dalam acara keluarga atau jamuan tamu dianggap memiliki status yang lebih tinggi.
Tradisi itu bertahan sampai kini.
Itulah sebabnya, kita saat ini sering jumpai kue-kue kering seperti kastengel (juga nastar dan lapis legit) di meja-meja tamu saat Lebaran. Kue-kue ini sesungguhnya adalah simbol kelas dan kemapanan.