Tradisi Antaran Lebaran dan Saling Berkirim Rantang Berisi Makanan Saat Idulfitri, Apa Makna dan Fungsinya?


Berkirim antaran Lebaran berupa makanan dalam rantang maupun berupa bingkisan kekinian merupakan tradisi yang mengakar di Indonesia. Tradisi berbagi makanan ini ternyata juga dilakukan oleh komunitas-komunitas lain di seluruh dunia. | Foto: Pinterest

Di Indonesia, mengirimkan antaran Lebaran, biasanya berupa rantang berisi beragam makanan saat Hari Raya Idulfitri, sudah menjadi tradisi sejak lama. Tradisi ini dikenal di berbagai komunitas etnis.

Di Betawi, misalnya, terdapat tradisi yang disebut “nyorog“. Praktik nyorog ini dilakukan dengan mengirimkan makanan kepada kerabat yang lebih tua, sehari sebelum Lebaran.

BACA JUGA: Kastengel, dari Budaya Priyayi Era Kolonial hingga Jadi Hidangan Lebaran

Di kalangan etnis Sunda dikenal tradisi yang disebut “ngateuran“. Tak jauh beda dengan nyorog di Betawi, ngateuran juga dilakukan di sekitar Hari Raya Idulfitri. Praktiknya adalah saling berkirim makanan yang biasanya diwadahi rantang.

Sementara itu, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebutan untuk tradisi serupa adalah “ater-ater“. Istilah ini bunyi pelafalannya dekat dengan kata “ngeterake” yang berarti “mengantarkan.” Tentu saja, yang diantarkan adalah makanan khas Lebaran.

Di kalangan etnis Bugis di Makassar, sebutan untuk tradisi serupa itu adalah “ma’burasa“. Praktiknya pada dasarnya sama saja. Berbagi antaran Lebaran berupa makanan saat Idulfitri.

Di berbagai komunitas etnis lainnya di Indonesia, praktik serupa juga dilakukan, dengan sebutan dan variasinya masing-masing.

Wadah makanan bersusun berbahan logam yang disebut rantang memegang peranan penting dalam tradisi ini, mungkin sampai dasawarsa 1990-an.

Sekarang, jenis-jenis wadah makanan sudah jauh lebih beragam, tidak hanya sebatas rantang. Jadi, saat ini, sangat mungkin wadah yang dipakai tidak lagi berupa rantang. Namun, esensi pertukaran makanan itu tetap sama.

Di wilayah perkotaan, tradisi ini sebagian malah sudah bertransformasi menjadi kiriman yang biasa disebut “hampers“, ada pula yang menyebutnya “parcel“.

Entah berupa bingkisan berpenampilan modern maupun antaran Lebaran tradisional memakai rantang, intinya sama saja, yakni mengirimkan makanan kepada orang lain saat Hari Raya Idulfitri.

Apa sebenarnya makna dan tujuan dari tradisi tersebut?

TRADISI UNIVERSAL

Kebiasaan mengirimkan makanan yang kurang-lebih sama seperti antaran Lebaran ala Indonesia ternyata juga bisa ditemukan di berbagai belahan dunia.

Tradisi ini biasanya memang berkaitan dengan momen perayaan keagamaan atau perayaan lain yang membahagiakan. Berikut beberapa contoh dari berbagai kawasan.

1, Tiongkok

Saat Imlek, keluarga di Tiongkok sering berbagi makanan seperti kue bulan dan jeruk mandarin sebagai simbol keberuntungan dan kebahagiaan.

2. Jepang

Ada budaya Oseibo dan Ochugen di Jepang, yaitu kebiasaan memberikan hadiah, termasuk makanan, kepada kolega, kerabat, atau orang yang dihormati pada pertengahan dan akhir tahun. Paket yang diberikan sering berisi makanan khas Jepang seperti kue-kue tradisional atau sake.

3. Korea

Di Korea, selama perayaan Chuseok (thanksgiving ala Korea), keluarga berkumpul dan saling bertukar makanan, terutama kue beras bernama songpyeon. Ini juga menjadi momen berbagi makanan dengan tetangga dan sanak saudara.

4. India

Selama perayaan Diwali, warga di India memiliki kebiasaan mengirimkan mithai (manisan India) kepada keluarga, teman, dan kolega sebagai tanda keberkahan dan kebahagiaan.

5. Timur Tengah

Pada bulan Ramadan, berbagi makanan dengan keluarga, tetangga, dan fakir miskin adalah bagian dari budaya di Timur Tengah. Ada pula tradisi khusus seperti memberikan hidangan khas seperti baklava dan maamoul saat Idulfitri.

6. Eropa dan Amerika

Dalam budaya Barat, di Eropa dan Amerika, Christmas hampers atau keranjang Natal berisi makanan dan minuman khas Natal dikirimkan kepada keluarga atau rekan kerja sebagai bentuk apresiasi dan silaturahmi.

Tradisi itu juga dilakukan pada perayaan Thanksgiving di Amerika, di mana keluarga sering saling berbagi hidangan, terutama kalkun.

Mari kita kulik lebih lanjut, apa sebenarnya makna di balik tradisi bertukar makanan yang ternyata bersifat universal ini.

Makanan yang sudah dimasak menunjukkan adanya keterlibatan dan sentuhan personal dari pengirimnya. Ini juga menunjukkan rasa hormat dan niat untuk memperkuat hubungan sosial | Foto: Pinterest
KAJIAN ANTROPOLOGI TENTANG TRADISI BERKIRIM MAKANAN

Ilmu antropologi banyak mengkaji peran makanan dalam kehidupan sosial manusia. Salah satu konsep yang sering dibahas adalah gift exchange atau pemberian hadiah, yang juga mencakup pemberian makanan sebagai bentuk ikatan sosial.

Di bawah ini kita coba menyimak pemikiran dua antropolog terkenal, yang akan membantu menjelaskan makna-makna dan fungsi sosial-budaya di balik tradisi bertukar makanan.

1. Marcel Mauss

Antropolog Marcel Mauss, dalam bukunya yang terkenal, The Gift (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pemberian) membahas bagaimana praktik bertukar hadiah, termasuk makanan, menciptakan kewajiban sosial dan memperkuat hubungan antarindividu dalam komunitas.

Mauss mengembangkan konsep tentang pertukaran hadiah yang bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan suatu mekanisme sosial yang mengikat individu dalam hubungan timbal balik.

Antropolog Prancis ini mengamati bahwa dalam banyak masyarakat tradisional, hadiah bukan sekadar pemberian tak bermakna, tetapi mengandung tiga kewajiban sosial.

1.Kewajiban untuk memberi (the obligation to give). Memberi hadiah adalah cara untuk menunjukkan status sosial, membangun hubungan, dan mengokohkan ikatan sosial.

2. Kewajiban untuk menerima (the obligation to receive). Menolak hadiah berarti menolak hubungan sosial atau bahkan bisa dianggap sebagai tindakan permusuhan.

3. Kewajiban untuk membalas (the obligation to reciprocate). Hadiah harus dibalas, baik secara langsung maupun di masa mendatang, yang menciptakan siklus hubungan yang terus berlanjut.

Jika dikaitkan dengan tradisi antaran Lebaran di Indonesia, mengirim makanan saat Lebaran bukan sekadar tindakan berbagi, melainkan mengandung makna sosial yang dalam.

Makanan yang dikirim kepada kerabat yang lebih tua adalah bentuk penghormatan dan ekspresi bakti. Ini mencerminkan kewajiban memberi yang dijelaskan Mauss. Memberi bukan sekadar kebajikan individu, apalagi transaksi ekonomi, tetapi suatu norma sosial yang harus dipenuhi.

Penerima antaran Lebaran kemudian merasa wajib untuk membalas, meskipun tidak langsung. Balasannya bisa berupa doa, pemberian lain di kemudian hari, atau bentuk perhatian lain.

Ini sesuai dengan gagasan Mauss bahwa setiap pemberian menciptakan kewajiban untuk membalas.

Tindakan membalas ini selanjutnya menciptakan siklus pertukaran dan interaksi sosial yang terus berlangsung dan tetap hidup.

Pada antaran Lebaran terdapat pula kepercayaan bahwa makanan yang dikirimkan membawa berkah, menunjukkan niat baik, dan memperkuat hubungan emosional antarindividu. Ini berarti tradisi antaran Lebaran mengandung juga makna simbolis dan spiritual.

Tradisi berkirim makanan memakai rantang berkembang menjadi pengiriman hampers dalam konteks masyarakat modern. Prinsipnya tetap sama, yakni mengirimkan makanan sebagai bentuk hubungan sosial dan ekspresi rasa hormat.

Jadi, tradisi berkirim makanan, menurut Mauss, bukan sekadar berbagi rezeki, tetapi juga bagian dari sistem sosial yang lebih luas.

Melalui makanan, seseorang menegaskan posisinya dalam masyarakat, membangun hubungan timbal balik, dan menjaga siklus kesinambungan budaya dan ikatan komunal.

Tradisi ini terus berevolusi dan bertransformasi, tetapi esensi pertukaran sosial yang dibahas Mauss tetap menjadi dasar praktik tersebut.

Bingkisan yang dihias dan dikemas rapi juga bermaksud menunjukkan adanya sentuhan personal dan keinginan untuk memperkuat ikatan sosial | Foto: Vecteezy
2. Claude Lévi-Strauss

Dalam buku The Raw and the Cooked, Claude Lévi-Strauss mengembangkan teori strukturalisme antropologi dengan menganalisis bagaimana makanan dan cara memasaknya mencerminkan struktur berpikir manusia.

Lévi-Strauss melihat bahwa masyarakat di seluruh dunia cenderung mengorganisasikan pemahaman mereka terhadap makanan dalam oposisi biner. Misalnya, mentah (raw) vs. matang (cooked). Mentah itu menyimbolkan alam, sedangkan matang menyimbolkan budaya.

Dalam tradisi antaran Lebaran, makanan yang dikirim hampir selalu sudah dimasak. Ini bukan sekadar kebiasaan praktis, tetapi juga simbol bahwa makanan itu telah diubah dari alam menjadi budaya, sehingga mencerminkan perhatian, kehangatan, dan niat baik pengirimnya.

Bahan makanan mentah dalam tradisi itu sudah mengalami transformasi budaya yang menunjukkan keterlibatan personal pengirimnya dalam proses memasak.

BACA JUGA: Sudah Dikenal Sejak Abad Ke-9, Ketupat Tak Selalu Disajikan Tepat pada Hari Lebaran

Dalam tradisi antaran Lebaran, makanan yang dikirimkan biasanya sudah melalaui proses pengolahan yang cukup kompleks. Misalnya, opor ayam, sambal goreng hati, atau rendang.

Ini menunjukkan bahwa makanan yang diberikan bukan sekadar makanan biasa, tetapi makanan yang melibatkan usaha dan perhatian khusus, yang menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang.

Makanan yang diolah atau dimasak mencerminkan peradaban. Dalam masyarakat, semakin kompleks cara memasak suatu makanan, semakin tinggi pula nilai budayanya.

Hal ini juga berlaku pada hampers Lebaran modern. Bingkisan yang dikirimkan dikemas dengan rapi atau dibuat eksklusif. Ini menunjukkan nilai lebih dibandingkan makanan biasa. Ada keterlibatan dan usaha personal dalam mengemas bingkisan itu.

Menurut Lévi-Strauss, makanan adalah bahasa simbolik, cara masyarakat berkomunikasi dan membangun relasi.

Mengirimkan antaran Lebaran dengan demikian bukan hanya tentang berbagi rezeki, tetapi juga sebagai pesan sosial, yang pada gilirannya menciptakan ikatan sosial yang kuat dalam suatu komunitas budaya.

***

Masyarakat Indonesia sejak dulu dikenal memiliki tradisi komunal yang kuat, yakni gotong royong.

Tradisi berbagi makanan yang diwadahi rantang ini mencerminkan semangat berbagi, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Antaran Lebaran adalah ekspresi rasa syukur dan kebahagiaan, sekaligus cara untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga, kerabat, juga tetangga.

Kebiasaan ini, seperti dijelaskan daam analisis antropologi, sekaligus menciptakan interaksi timbal-balik, jejaring ikatan komunal dalam sistem sosial-budaya yang terus bergulir dan berkelanjutan.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *