
Makanan tradisional Indonesia yang identik dengan Hari Raya Idulfitri adalah ketupat.
Penganan unik dari beras yang dibungkus anyaman janur alias daun kelapa ini bahkan sudah dianggap sebagai simbol Lebaran.
Lihat, misalnya, berbagai poster maupun kartu ucapan selamat Idulfitri di Indonesia yang sangat sering dihias dengan gambar ketupat.
Nah, pertanyaan yang menarik, sejak kapan, sih, makanan yang disebut ketupat atau kupat ini mulai mulai dikenal? Mengapa kemudian ia jadi identik dengan Hari Raya Idulfitri?
Dan, mengapa pula di beberapa daerah, ketupat ternyata tak selalu disajikan tepat pada hari H Lebaran? Yuk, kita telusuri.
Populer Juga di Negara Tetangga
Sebenarnya, ketupat tak hanya dikenal di Indonesia melainkan juga di beberapa kawasan lain di Asia Tenggara, terutama di negara-negara yang memiliki populasi Muslim.
Di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, ketupat juga sangat dikenal dan lazim pula dihidangkan pada Hari Raya Idulfitri.
Tak hanya itu, di wilayah Thailand Selatan juga terdapat banyak penduduk Muslim, seperti di Pattani dan Yala. Di sini, ketupat pun sering dikaitkan dengan perayaan Idulfitri dan disantap dengan makanan pendamping khas setempat.
Kemudian, di Filipina Selatan, masyarakat Muslim di Mindanao dan Sulu juga mengenal ketupat yang disebut pusô.
Jadi, ketupat bisa dibilang adalah makanan khas Nusantara. Ini adalah wilayah kultural yang cakupannya tidak sebatas Indonesia namun juga meliputi beberapa negara tetangga.
Sudah Ada Sejak Era Jawa Kuno
Ketupat sesungguhnya adalah makanan yang sangat lawas. Di Indonesia, terutama di pulau Jawa, ketupat bukan baru ada sejak 50 tahun lalu atau 100 tahun lalu. Tidak!
Ketupat sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu, yang dalam sejarah Nusantara dikenal sebagai era Jawa Kuno. Kapan itu era Jawa Kuno?
Mudahnya, era pra-Islam, yakni periode sebelum sebagian besar penduduk di Jawa memeluk agama Islam. Dengan kata lain, era Hindu-Buddha.
Islam di Jawa mulai menyebar luas sejak berdirinya kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, yakni Kesultanan Demak, pada akhir abad ke-15. Nah, bahkan jauh sebelum abad ke-15 atau tahun 1400-an ini, ketupat ternyata sudah ada.
Disebut dalam Kakawin Ramayana
Keberadaan ketupat sudah disebut dalam manuskrip kuno, yakni Kakawin Ramayana.
Naskah berbahan daun lontar ini dibuat pada era kekuasaan Dyah Balitung, sekitar tahun 870 Masehi, abad ke-9. Jadi, hampir setua Candi Borobudur yang selesai dibangun pada tahun 825 Masehi.
Dalam naskah berbahasa dan beraksara Jawa Kuno atau Kawi (kata dasar dari “kakawin” yang berarti syair atau karya sastra), ketupat disebut dengan nama “kupatay”. Begini cuplikannya:
“matama pwa ya pat mawĕrö wiratîṅ kupatay tamatar kagaway pabubur susu.”
Kutipan itu bisa dicek pada website Old Javanese-English Dictionary alias OJED.
Kurang-lebih tiga ratus tahun kemudian, juga dalam manuskrip lontar, sebutan “kupatay” itu ternyata sudah berubah jadi “kupat”. Nama “kupat” ini tetap dipakai sampai sekarang, antara lain dalam bahasa Jawa dan Sunda.
Sebutan “kupat” itu salah satunya terdapat dalam Kakawin Kṛṣṇāyana yang berasal dari tahun 1104 Masehi atau awal abad ke-12.

Menjadi Sarana Dakwah Keislaman
Ketupat mulai identik dengan Lebaran di Nusantara sejak masa penyebaran Islam oleh Wali Songo atau sembilan wali, khususnya Sunan Kalijaga pada abad ke-15 hingga 16.
Sunan Kalijaga, yang terkenal sebagai pendakwah yang menyebarkan Islam dengan memanfaatkan tradisi lokal, memperkenalkan ketupat sebagai simbol keislaman. Ketupat kemudian lambat laun menjadi bagian dari tradisi perayaan Idulfitri.
Sebagai sarana dakwah, berbagai unsur pada ketupat lantas dihubungkan dengan ajaran dan filosofi Islam yang bersifat edukatif. Tujuannya adalah untuk menanamkan nilai-nilai keislaman kepada umat.
Misalnya, dipopulerkan bahwa nama “kupat” berasal dari frasa “ngaku lepat”, yang berarti mengakui kesalahan atau memohon maaf. Kita tahu, tradisi saling memaafkan ini sangat identik dengan Hari Raya Idulfitri.
Anyaman janur pembungkus ketupat dianggap melambangkan kompleksitas kehidupan. Dalam kompleksitas itu, manusia yang daif sering terjerumus ke dalam dosa dan kesalahan. Karena itu, setiap orang dituntut untuk selalu siap mengaku salah sekaligus ikhlas untuk memaafkan.
Ketika dibelah, akan terlihatlah isi ketupat yang berwarna putih dan bersih. Ini adalah lambang kesucian dan ketulusan hati.
Isi ketupat yang putih dan bersih ini juga melambangkan pencapaian dari ibadah puasa yang telah dijalankan selama sebulan penuh. Jadi, ketupat adalah simbol kemenangan rohani yang pantas disyukuri pada perayaan Idulfitri.
Hanya Disajikan Saat “Bakda Kupat” atau Lebaran Ketupat
Meski saat ini ketupat lazim dihidangkan tepat pada tanggal 1 Syawal atau tepat pada Hari Raya Idulfitri, bersama opor ayam, sambal goreng kentang, atau hidangan pelengkap lainnya, terdapat pula tradisi yang agak berbeda.
Di sejumlah daerah, lazim dikenal perayaan tambahan yang namanya Bakda Kupat atau Lebaran Ketupat. Ini adalah Lebaran kedua atau Lebaran tambahan yang biasanya dirayakan tujuh hari sesudah Idulfitri.
BACA JUGA: Kastengel, dari Budaya Priyayi Era Kolonial hingga Jadi Hidangan Lebaran
Mengapa diperlukan Lebaran tambahan? Ini tentu ada sebabnya.
Dalam ajaran Islam terdapat ibadah sunnah yang namanya Puasa Syawal. Puasa ini dilakukan selama enam hari, tidak harus berturut-turut. Namun, yang pasti, harus dilakukan sesudah Idulfitri (1 Syawal) dan selama bulan Syawal.
Untuk mengajak umat agar bersedia melakukan puasa Syawal, para ulama zaman dahulu menciptakan Lebaran tambahan itu. Karena puasa Syawal dikerjakan selama enam hari sesudah Idulfitri, Lebaran Ketupat itu jatuh pada hari ketujuh.
Saat Lebaran Ketupat atau Bakda Kupat inilah ketupat dihidangkan untuk merayakan selesainya ibadah sunnah puasa Syawal. “Bakda” dalam bahasa Jawa artinya memang usai atau selesai.
Biasanya, saat Bakda Kupat, beberapa buah ketupat digantung di pintu-pintu rumah bersama penganan lain yang disebut “lepet”.
Ketupat juga disantap bersama makanan pelengkap, misalnya sayur brongkos tahu dan kacang tholo atau kacang tunggak. Ada pula yang menyantapnya bersama sayur lodeh, sambal goreng kentang, dan lain-lain, tergantung kebiasaan setempat.
Nah, itulah sebabnya, dalam tradisi di sejumlah daerah yang masih dilestarikan hingga kini, ketupat tidak disajikan tepat pada Hari Raya Idulfitri melainkan justru tujuh hari sesudahnya.